Beberapa hari ini sering liat seliweran di twitter bahas tentang consent sex vs sex setelah nikah. Satu kubu bela argumen bahwa melakukan sex itu urusan diri masing-masing asal ada consent yaudah gas, sedangkan kubu satunya consent aja gak cukup karena mau sama mau ketika berhubungan sex belum tentu akan aman kedepannya. Bilangnya mau sama mau, habis melakukan sex ternyata ditinggal jadi rasanya seperti habis dilecehkan, belum lagi misal kecolongan hamil terus cowoknya gak mau tanggung jawab kabur. Lihat berita bayi dibunuh setelah dilahirkan atau dibuang sembarang tempat karena orang tua belum siap untuk membesarkan si bayi, akibatnya bayi tidak bersalah yang menjadi korban. Lagi-lagi tidak bisa sesederhana karena udah ada consent terus selanjutnya tidak akan terjadi permasalahan. Consent tidak bisa hanya berpegangan dengan kata "iya, mau" tapi pertimbangan umur, pemahaman tentang tubuhnya dan hubungan sex itu sendiri juga penting. Bagaimana kalo mau hanya karena takut ditinggal, mau karena ternyata korban grooming yang sudah pasti anak di bawah umur, mau karena dia gak paham apa konsekuensi melakukan sex sebelum menikah, mau tapi tidak tahu bagaimana melakukan sex dengan aman dari ancaman penyakit seperti HIV/AIDS atau PMS (Penyakit Menular Seksual).
Teman akrab telpon bilang kalo dia mau diusir dari kos karena protes kepada penjaga kos. Aku tanya apa masalahnya, jadi teman ku menyampaikan komplain setelah penjaga kos angkat jemuran yang isinya daleman cewek kemudian dilipetin. Menurut temenku si bapak ini sudah melewati batas karena tindakan itu, ditambah dengan si bapak ini sering mondar-mandir dan melihat-lihat ke dalam kamar penghuni kos. Sebetulnya hal tersebut menurut penghuni kos tidak perlu, misal alasannya keamanan harusnya ya izin kepada penghuni kos dulu. Gak semua cewek nyaman melihat cowok mondar-mandir di sekitar kamar meskipun itu penjaga kos. bukan kah tugas penjaga kos adalah menjaga keamanan penghuni kos bukan membuat penghuninya tidak nyaman?
Tau gak rasanya ketika kamu cerita bahwa gak nyaman tentang kelakuan orang lain tapi malah diserang balik? dibilang ya siapa tau maksudnya bukan aneh-aneh cuma pengen ngecek aja misal ada yang nyembunyiin sesuatu. Tapi kalo memang niatnya baik bukankah bisa dengan izin terlebih dahulu? Kita tidak bisa menilai niat orang lain tanpa orang tersebut mengucapkannya. Kalo semua tindakan harus diwajarkan dengan asumsi niatnya baik ternyata memang ada maksud yang tidak baik bagaimana? Apakah harus ada kejadian yang merugikan korban dulu baru bisa ditindak? Kerugian materi bisa dicari tapi kalo kerugiannya meninggalkan trauma berkepanjangan pada korban? Lebih baik mencegah daripada mengobati bukan?
Trauma korban sexual assault or sexual harassment tidak mudah hilang, bahkan mungkin tidak akan hilang. Rasa takutnya, rasa menyesal karena tidak bisa melawan, rasa takut disalahkan dan dihakimi orang lain akan menghantui. Memang manusia tempatnya lupa tapi tidak semua bisa dilupakan meskipun pengen banget lupa. The least we can do is berdiri dengan korban, bantu korban mendapat pertolongan dan perlindungan.
p.s : ini udah ada di draft sejak tahun lalu jadi yaudah diupload aja kapan-kapan ditinjau ulang :)
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih :D